Rabu, 25 April 2012

Tasawuf dan Ilmu Pengetahuan


Perkembangan ilmu pengetahuan modern di satu sisi telah membawa kemajuan untuk kehidupan manusia, tetapi di sisi lain menmbulkan ancaman bagi kelangsungan hidup manusia  jelas ditunjukkan untuk memusnahkan manusia. Juga kemajuan ilmu pengetahuan telah memungkinkan kegiatan industri dapat menguras sumber daya alam yang sebesar-besarnya, yang kemudian merusak lingkungan hidup dan mengancam kelangsungan hidup manusia.
Kenyataan itu menyadarkan kita tentang perlunya etika dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Selama ini berkembang suatu asumsi bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai, tetapi kenyataan tadi menunjukan bahwa netralitas nilai ilmu pengetahuan tidak dapat dipertahankan lagi.
Menurut Jalaluddin Rahmat, etika harus dipertimbangkan dalam setiap tahap proses ilmiah, yang meliputi pemilihan masalah ilmiah, penelitian ilmiah, dan penerapan imiah (teknologi).
Proses ilmiah dimulai ketika ilmuan menyeleksi fenomena alamiah untuk ditelaah. Hal yang kan dseleksi ditentukan oleh konsepsinya tentang apa yang penting dan mengapa fenomena tertentu bermakna.
Ilmuan harus memutuskan, pemilihan masalah ilmiah itu penting buat siapa? Buat dirinya, buat negaranya, buat dunia bisnis, buat umat manusia secara keseluruhan? Bolehkah suatu penelitian ilmiah dijalankan dengan mengorbankan orang-orang pada masa kini, tetapi memberikan kebahagiaan generasi masa depan, atau membahagiakan generasi sekarang, walaupun mengorbankan generasi mendatang?.
Pertanyaan-pertanyaan itu harus dijawab dengan melibatkan pertimbangan-pertimbangan nilai, dengan kata lain harus merujuk kepada etika. Sebenarnya tidak ada kegiatan ilmua yang tidak didasarkan pada etika tertentu. Bukankah ketika ilmuan memulai upaya ilmiah ia telah didorong untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti mencari kebenaran, meningkatkan karier, memuliakan kehidupan, memelihara lingkungan tau hanya sekedar mencari uang.
Kalau ia memandang kebajikan tertinggi adalah penemuan kebenaran ilmiah, maka ia akan memilih masalah yang menarik baginya, walaupun mungkin masalah ilmiah itu dapat menimbulkan masalah sosial.
Pertmbangan etis itu juga berlaku dalam proses penelitian ilmiah. Ketika melakukan penelitian ilmuan harus memperhatikan prosedur penelitian yang dilakukanya. Kalau penelitiannya berkenaan dengan manusia, maka apakah penelitian itu tidak menimbulkan kerugian bagi subyek penelitiannya, apakah mereka ditipu atau sukarela menjadi peserta penelitian.
Paling tidak sebagai peneliti ilmiah ia harus mempertahankan kejujuran, keterbukaan dan kesungguhan hati, menghindari manipulasi data (dalam arti negatif), pemalsuan informasi, dan sebagainya, yang merunthkan nilai sains itu sendiri.
Kemudian pertibangan stis juga beralaku dalam keputusan ilmiah. Setelah penelitian selesai dilakukan ilmuan harus menentukan, apakah hipotetis dapat diterima atau ditolak, sejauh manakah kesalahan yang dapat ditolelir, apa dasar pertimbangan, misalnya suatu jenis obat akan dipasarkan.
Akhirnya, pertimbangan etis juga berlaku dalam ilmu terapan (teknologi). Bila tujuan upaya ilmiah itu semata-mata bersifat kognitif (menambah informasi), maka yamg lahir ialah imu murni (pure science). Kalau tujuannya terutama sekali adalah hal-hal yang praktis, mka yang muncul adalah ilmu terapan (applied science).
Dalam semua proses ilmiah peranan etika sangat jelas dalam ilmu terapan atau teknologi. Teknologi selalu sarat akan nilai dan berkaitan dengan pertanyaan : untuk apa, siapa yang menerapkan teknologi dan untuk siapa?.
Ketika ilmuan berdebat tentang apakah kita mengambil teknologi canggih atau tepat guna sebenarnya kita sedang melakukan pertimbangan nilai. Ketika kita hendak memutuskan, apakah perlu mengadakan satelit siaran langsung (direct broadcasting satellite), pertimbangannya bukan hanya rasio manfaat-mudharat, tetapi siapa yang diuntungkan dan yang dirugikan.
Dengan melihat perlunya peranan etika dalam semua proses ilmiah, maka netralitas nilai ilmu pengetahuan sekaligus dipertanyakan dengan beberapa alasan, yaitu bahwa sebagai ilmuwan dapat menerima atau menolak hipotesis. Kemudian tidak ada hipotesis ilmiah yang sepenuhnya terbukti, tetapi semuanya dapat dikoreksi. Karena itu, ilmuwan harus memutuskan bahwa bukti cukup kuat untuk menjamin diterimanya suatu hipotesis.
Peranan etika dalam proses ilmiah akan makin jelas bila diingat bahwa ilmuwan memiliki tanggung jawab sosial dan fungsi edukatif, yaitu mendidik anggota masyarakat untuk mengambil keputusan yang bijaksana dan rasional, memberikan peringatan kepada mereka bila melihat ada bahaya-bahaya yang mengancam kehidupan mereka, dan memonitor dampak sains dan teknologi serta menyampaikan hasil monitoringnya kepada masyarakat.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana mengembangkan etika bagi proses ilmiah? Dalam Islam, etika secara praktis diajarkan oleh tasawuf. Tasawuf mengajarkan bahwa perbuatan manusia, termasuk kegiatan proses ilmiah, didorong oleh bisikan hati.
Itu sebabnya hati harus dibersihkan dari hal buruk, kemudian diisi dengan hal-hal yang baik. Kalau hati terbiasa dengan hal-hal yang baik, maka bisikan hatinya juga akan baik, sehingga akan melahirkan perbuatan baik pula. Sebaliknya, jika hati terbiasa dengan hal-hal yang buruk, maka bisikan hatinya menjadi buruk, yang kemudian mendorongnya kepada perbuatan buruk pula.
Sebagimana halnya tubuh, hati juga dapat berbuat. Menurut Abu Hamid al Ghazali, ada empat tahap perbuatan hati manusia. Ia menjelaskan:
“Yang pertama terlintas dalam hati adalah bisikan kepada sesuatu, seperti wanita yang berjalan di belakang seseorang, yang ia menoleh kepadanya, ia akan melihatnya”.
“Yang kedua ialah bergeraknya hasrat untuk melihat wanita itu, yang merupakan gerakan nafsu. Ini berasal dari bisikan pertama yang merupakan kecenderungan ilmiah”.
“Yang ketiga adalah keputusan hati bahwa ia harus melakukannya, yakni melihat wanita itu. Jika karakter orang itu netral, maka hasratnya tidak akan bangkit selama ada faktor pengalih perhatian, seperti rasa malu atau takut, kondisi ini disebut proses peyakinan diri sebagai kelanjutan dari bisikan”.
“Yang keempat adalah tekad untuk melihatnya dan melakukan sesuatu kepadanya, dan ini kami sebut keyakinan, niat atau maksud, untuk berbuat”.
Dengan demikian, ada empat tahap pernuatan hati, yaitu bisikan, kecenderungan, peyakinan diri dan niat. Allah SWT mendorong manusia untuk berbuat baik dengan memberi pahala pada setiap tahap perbuatan hati tersebut bila berkenaan dengan kebaikan. Sebaliknya, Allah SWT tidak menjatuhkan dosa pada setiap tahap perbuatan hati itu bila berkenaan dengan keburukan. Dosanya hanya muncul kalau niat atau maksud hati itu direlisasikan oleh tubuh.
Jelaslah bahwa praktek tasawuf didorong oleh bisikan hati atau intuisi, sedang proses ilmiah didasarkan pada pengalaman empiris atau indera. Kedua hal ini tidak bertentangan, karena berasal dari diri yang sama, yaitu manusia. Karena itu, etika sebagai manifestasi bisikan hati yang baik tidak bertentangan dengan proses ilmiah. Malah keduanya saling memperkuat untuk keutuhan dan kebaikan manusia. Inilah salah satu makna penting tasawuf dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar