Perkembangan ilmu
pengetahuan modern di satu sisi telah membawa kemajuan untuk kehidupan manusia,
tetapi di sisi lain menmbulkan ancaman bagi kelangsungan hidup manusia jelas ditunjukkan untuk memusnahkan manusia.
Juga kemajuan ilmu pengetahuan telah memungkinkan kegiatan industri dapat
menguras sumber daya alam yang sebesar-besarnya, yang kemudian merusak
lingkungan hidup dan mengancam kelangsungan hidup manusia.
Kenyataan itu
menyadarkan kita tentang perlunya etika dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Selama ini berkembang suatu asumsi bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai,
tetapi kenyataan tadi menunjukan bahwa netralitas nilai ilmu pengetahuan tidak
dapat dipertahankan lagi.
Menurut Jalaluddin
Rahmat, etika harus dipertimbangkan dalam setiap tahap proses ilmiah, yang
meliputi pemilihan masalah ilmiah, penelitian ilmiah, dan penerapan imiah
(teknologi).
Proses ilmiah dimulai
ketika ilmuan menyeleksi fenomena alamiah untuk ditelaah. Hal yang kan dseleksi
ditentukan oleh konsepsinya tentang apa yang penting dan mengapa fenomena
tertentu bermakna.
Ilmuan harus
memutuskan, pemilihan masalah ilmiah itu penting buat siapa? Buat dirinya, buat
negaranya, buat dunia bisnis, buat umat manusia secara keseluruhan? Bolehkah
suatu penelitian ilmiah dijalankan dengan mengorbankan orang-orang pada masa
kini, tetapi memberikan kebahagiaan generasi masa depan, atau membahagiakan
generasi sekarang, walaupun mengorbankan generasi mendatang?.
Pertanyaan-pertanyaan
itu harus dijawab dengan melibatkan pertimbangan-pertimbangan nilai, dengan
kata lain harus merujuk kepada etika. Sebenarnya tidak ada kegiatan ilmua yang
tidak didasarkan pada etika tertentu. Bukankah ketika ilmuan memulai upaya
ilmiah ia telah didorong untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti mencari
kebenaran, meningkatkan karier, memuliakan kehidupan, memelihara lingkungan tau
hanya sekedar mencari uang.
Kalau ia memandang
kebajikan tertinggi adalah penemuan kebenaran ilmiah, maka ia akan memilih
masalah yang menarik baginya, walaupun mungkin masalah ilmiah itu dapat
menimbulkan masalah sosial.
Pertmbangan etis itu
juga berlaku dalam proses penelitian ilmiah. Ketika melakukan penelitian ilmuan
harus memperhatikan prosedur penelitian yang dilakukanya. Kalau penelitiannya
berkenaan dengan manusia, maka apakah penelitian itu tidak menimbulkan kerugian
bagi subyek penelitiannya, apakah mereka ditipu atau sukarela menjadi peserta
penelitian.
Paling tidak sebagai
peneliti ilmiah ia harus mempertahankan kejujuran, keterbukaan dan kesungguhan
hati, menghindari manipulasi data (dalam arti negatif), pemalsuan informasi,
dan sebagainya, yang merunthkan nilai sains itu sendiri.
Kemudian pertibangan
stis juga beralaku dalam keputusan ilmiah. Setelah penelitian selesai dilakukan
ilmuan harus menentukan, apakah hipotetis dapat diterima atau ditolak, sejauh
manakah kesalahan yang dapat ditolelir, apa dasar pertimbangan, misalnya suatu
jenis obat akan dipasarkan.
Akhirnya, pertimbangan
etis juga berlaku dalam ilmu terapan (teknologi). Bila tujuan upaya ilmiah itu
semata-mata bersifat kognitif (menambah informasi), maka yamg lahir ialah imu
murni (pure science). Kalau tujuannya terutama sekali adalah hal-hal yang
praktis, mka yang muncul adalah ilmu terapan (applied science).
Dalam semua proses
ilmiah peranan etika sangat jelas dalam ilmu terapan atau teknologi. Teknologi
selalu sarat akan nilai dan berkaitan dengan pertanyaan : untuk apa, siapa yang
menerapkan teknologi dan untuk siapa?.
Ketika ilmuan berdebat
tentang apakah kita mengambil teknologi canggih atau tepat guna sebenarnya kita
sedang melakukan pertimbangan nilai. Ketika kita hendak memutuskan, apakah
perlu mengadakan satelit siaran langsung (direct broadcasting satellite),
pertimbangannya bukan hanya rasio manfaat-mudharat, tetapi siapa yang diuntungkan
dan yang dirugikan.
Dengan melihat perlunya
peranan etika dalam semua proses ilmiah, maka netralitas nilai ilmu pengetahuan
sekaligus dipertanyakan dengan beberapa alasan, yaitu bahwa sebagai ilmuwan
dapat menerima atau menolak hipotesis. Kemudian tidak ada hipotesis ilmiah yang
sepenuhnya terbukti, tetapi semuanya dapat dikoreksi. Karena itu, ilmuwan harus
memutuskan bahwa bukti cukup kuat untuk menjamin diterimanya suatu hipotesis.
Peranan etika dalam
proses ilmiah akan makin jelas bila diingat bahwa ilmuwan memiliki tanggung
jawab sosial dan fungsi edukatif, yaitu mendidik anggota masyarakat untuk
mengambil keputusan yang bijaksana dan rasional, memberikan peringatan kepada
mereka bila melihat ada bahaya-bahaya yang mengancam kehidupan mereka, dan memonitor
dampak sains dan teknologi serta menyampaikan hasil monitoringnya kepada
masyarakat.
Persoalannya sekarang
adalah bagaimana mengembangkan etika bagi proses ilmiah? Dalam Islam, etika
secara praktis diajarkan oleh tasawuf. Tasawuf mengajarkan bahwa perbuatan
manusia, termasuk kegiatan proses ilmiah, didorong oleh bisikan hati.
Itu sebabnya hati harus
dibersihkan dari hal buruk, kemudian diisi dengan hal-hal yang baik. Kalau hati
terbiasa dengan hal-hal yang baik, maka bisikan hatinya juga akan baik, sehingga
akan melahirkan perbuatan baik pula. Sebaliknya, jika hati terbiasa dengan
hal-hal yang buruk, maka bisikan hatinya menjadi buruk, yang kemudian
mendorongnya kepada perbuatan buruk pula.
Sebagimana halnya
tubuh, hati juga dapat berbuat. Menurut Abu Hamid al Ghazali, ada empat tahap
perbuatan hati manusia. Ia menjelaskan:
“Yang pertama terlintas
dalam hati adalah bisikan kepada sesuatu, seperti wanita yang berjalan di
belakang seseorang, yang ia menoleh kepadanya, ia akan melihatnya”.
“Yang kedua ialah
bergeraknya hasrat untuk melihat wanita itu, yang merupakan gerakan nafsu. Ini
berasal dari bisikan pertama yang merupakan kecenderungan ilmiah”.
“Yang ketiga adalah
keputusan hati bahwa ia harus melakukannya, yakni melihat wanita itu. Jika
karakter orang itu netral, maka hasratnya tidak akan bangkit selama ada faktor
pengalih perhatian, seperti rasa malu atau takut, kondisi ini disebut proses
peyakinan diri sebagai kelanjutan dari bisikan”.
“Yang keempat adalah
tekad untuk melihatnya dan melakukan sesuatu kepadanya, dan ini kami sebut
keyakinan, niat atau maksud, untuk berbuat”.
Dengan demikian, ada
empat tahap pernuatan hati, yaitu bisikan, kecenderungan, peyakinan diri dan
niat. Allah SWT mendorong manusia untuk berbuat baik dengan memberi pahala pada
setiap tahap perbuatan hati tersebut bila berkenaan dengan kebaikan.
Sebaliknya, Allah SWT tidak menjatuhkan dosa pada setiap tahap perbuatan hati
itu bila berkenaan dengan keburukan. Dosanya hanya muncul kalau niat atau
maksud hati itu direlisasikan oleh tubuh.
Jelaslah bahwa praktek
tasawuf didorong oleh bisikan hati atau intuisi, sedang proses ilmiah
didasarkan pada pengalaman empiris atau indera. Kedua hal ini tidak
bertentangan, karena berasal dari diri yang sama, yaitu manusia. Karena itu,
etika sebagai manifestasi bisikan hati yang baik tidak bertentangan dengan
proses ilmiah. Malah keduanya saling memperkuat untuk keutuhan dan kebaikan
manusia. Inilah salah satu makna penting tasawuf dalam perkembangan ilmu
pengetahuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar