Ilmu menurut ulama salaf mencakup ilmu
syara’, ilmu akaldan ilmu bahasa. Ringkasnya mencakup ilmu agama dan ilmu dunia.
Imam Abu Umar bin Abdul Birr r.a., dalam
kitabnya yang terkenal Jami’u Bayanil-Ilmi, berkata, “Definisi ilmu menurut
ulama dan kalangan mutakallimin (teolog muslim) pada makna ini adalah suatu
yang dianggap yakin dan jelas. Setiap orang yang meyakini sesuatu dan
menganggapnya jelas, berarti dia telah berilmu (mengetahui hal itu). Karena
itu, orang yang tidak meyakini sesuatu dan berpendapat secara taklid,
berarti ia tidak mengetahui.
Taklid, menurut ulama,
berbeda dengan iitiba’. Ittiba’ adalah mengikuti pendapat
seseorang dengan mengetahui terlebih
dahulu keutamaan pendapat dan kebenaran mazhabnya. Sedangkan taklid
adalah mengikuti pendapat seseorang
tanpa mengetahui arah dan makna ucapannya. Bahkan, pendapat yang salah
sekalipun karena rasa segan dan hormat kepada orang yang mengatakannya, tetap
diikuti. Prinsip semacam ini diharamkan dalam agama Allah.
Ilmu terbagi menjadi dua: Ilmu
dharuri dan Ilmu muktasab. Ilmu dharuri adalah pengetahuan yang
dimiliki orang yang berilmu akan sesuatu tanpa meragukannya dan tidak dirasuki
subhat. Ia mendapatkan ilmu itu tanpa proses berpikir dan merenung, dan ia
mengetahuinya melalui perasaan dan akal. Contohnya seperti mengetahui bahwa
sesuatu itu mustahil bergerak dan diam sekaligus, atau berdiri sekaligus duduk,
atau sakit dan sehat pada waktu yang bersamaan. Yang termasuk ilmu dharuri
adalah sesuatu yang didapatkan lewat pancaindera, seperti indera perasa yang
dengan jelas bisa diketahui sesuatu yang pahit dari yang manis dengan pasti,
jika indera itu tidak cacat. Juga seperti indera penglihatan yang dengannya
bisa melihat warna-warna dan benda-benda, dan indera pendengaran yang dengannya
bisa mendengar berbagai suara.
Termasuk pula dalam ilmu dharuri adalah
pengetahuan manusia bahwa di dunia ini
ada Mekkah, India, China dan berbagai negeri yang mereka kenal.
Adapun ilmu muktasab adalah ilmu yang
berdasarkan pada pembuktian dengan dalil dan nazhar ‘perenungan’. Ilmu
ini ada yang samar dan ada yang jelas. Semakin dekat kepada ilmu dharuri, maka
ia semakin jelas, sedangkan yang semakin
menjauh darinya semakin samar.
Objek ilmu ada dua: syahid ‘yang tampak’ dan gaib. Syahid
diketahui secara dharuri, sedangkan gaib diketahui dengan petunjuk dari
yang tampak.
Sementara itu, menurut semua agama, ilmu
ada tiga: ilmu tinggi, ilmu rendah dan ilmu pertengahan.
Ilmu rendah adalah ilmu yang menggunakan
anggota tubuh dalam pekerjaan dan ketaatan. Seperti berkuda, menjahit dan
lainnya.
Ilmu tinggi adalah ilmu agama yang tidak
boleh seseorang membicarakannya kecuali apa yang diturunkan Allah dalam
kitab-kitab-Nya dan melalui rasul-rasul-Nya secara tekstual atau maknawi.
Ilmu pertengahan adalah mengetahui
ilmu-ilmu dunia yang pengetahuan sesuatu diketahui dengan mengetahui
bandingannya dan dibuktikan dengan jenis serta macamnya, seperti ilmu
kedokteran dan teknik.
Imam Abu Hamid al-Ghazali dan
ulama-ulama berpendapat bahwa mempelajari dan menguasai setiap ilmu yang
menjadi pilar tegaknya agama dan dunia, seperti ilmu kedokteran dan ilmu
lainnya, adalah fardu kifayah.
Artinya, jika ada sejumlah orang dari
umat, yang memenuhi tuntutan-tuntutan umat, menutupi kebutuhannya, serta tidak
menjadi beban bagi orang lain dari segi sipil dan militer, maka dosa dan beban
seluruh umat telah terangkat. Sebaliknya, jika sejumlah oramh ini tidak
menguasai setiap bidang ilmu yang dibutuhkan umat, maka umat seluruhnya berdosa
karena melalaikan kewajiban jamaah yang ditanggung secara bersama-sama, dengan
perbedaan dalam tingkat pertanggungjawabannya. Tentunya tanggung jawab orang
bodoh tidak sama dengan tanggung jawab orang berilmu. Dan tanggung jawab
pemerintah berbeda dengan tanggung jawab rakyat kecil.
Bahkan al-Ghazali dan ulama lainnya
berpendapat bahwa hukum mempelajari dasar-dasar perindustrian dan teknologi
yang bermacam-macam yang tidak bisa ditinggalkan oleh masyarakat madani
merupakan kewajiban atas umat.
Pada masa sekarang, industri dan
teknologi yang memajukan peradaban modern telah merasuki semua bidang kehidupan
dengan kemajuan yang mencengangkan. Manusia berhasil mempersempit jarak dan
mempersingkat waktu serta menghemat tenaga. Kita selalu berbicara tentang
revolusi teknologi, revolusi biologi, revolusi komunikasi, revolusi informasi
dan revolusi lainnya yang telah mengubah wajah kehidupan. Maka karena umat
Islam wajib berperan dalam revolusi tersebut, tidak hanya jadi penonton pada
saat dunia terus bergerak. Agama mewajibkan umat untuk selalu berada di depan,
bukan di belakang.
Al-Quran
telah mengisyaratkan industry dan teknologi yang bermacam-macam, seperti
industri logam dalam teknologi militer dan sipil. Hal ini diisyaratkan dalam
ayat,(
$uZø9tRr&ur
yÏptø:$# ÏmÏù Ó¨ù't/ ÓÏx© ßìÏÿ»oYtBur
Ĩ$¨Z=Ï9 …..
Artinya:“Dan kami ciptakan besi yang padanya
terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, …”
Masih banyak isyarat-isyarat dalam
al-Quran tentang penggunaan industri dan teknologi. Sekarang tergantu kita
sebagai umat Islam, apakah hanya akan menggunakan hasil industry dan teknologi
saja atau ikut serta di dalamnya.
Daftar Pustaka
Qadhawi, Yusuf. 1996. Al-Aqlu Wal ‘Ilmi Fiil Quranil Kariim (Al-Quran Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan). Jakarta: Gema Insani Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar